Skip to main content

(copas) UNTUKMU YANG MENGHARAMKAN KATA “JANGAN” DALAM MENDIDIK ANAK: ADAKAH ENGKAU TELAH MELUPAKAN KITABMU?

UNTUKMU YANG MENGHARAMKAN KATA “JANGAN” DALAM MENDIDIK ANAK: ADAKAH ENGKAU TELAH MELUPAKAN KITABMU?

by Yazid Subakti

“Al-Qur’an itu kuno,  Bu, konservatif, out of dated!. Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur’an masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur’an masih memakai ratusan kata ‘jangan’ di saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu  agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?....  “ Katanya sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.
 
Pernahkan Bapak dan Ibu sekalian membayangkan kalau pernyataan dan sikap itu terjadi pada anak kita, suatu saat nanti?
 
Itu mungkin saja terjadi jika kita terus menerus mendidiknya dengan pola didikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum. Mungkin saja anak kita menjadi demikian hanya gara-gara sejak dini ia tidak pernah dilarang atau mengenal negasi ‘jangan’.
 
Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa (Freud dan kawan-kawan) kemudian disusul behaviorisme (Pavlov dan kawan-kawan), isu humanism dalam mendidik anak terus disuarakan. Mereka membuang kata “Jangan” dalam proses mendidik anak-anak kita dengan alasan itu melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri anak pada posisi bersalah, dan menutup pintu dialog. Ini tidak menjadi masalah karena norma apapun menghargai nilai humanisme.
 
Tidak perlu ditutupi bahwa parenting telah menjadi barang dagangan yang laris dijual.  Ada begitu banyak lembaga psikologi terapan, dari yang professional sampai yang amatiran dengan trainer yang baru lulus pelatihan kemarin sore. Promosi begitu gencar, rayuan begitu indah dam penampilan mereka begitu memukau. Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata “jangan” ketika berinteraksi dengan anak-anak. Para orang tua muda terkagum-kagum member applausa. Sebagian tampak berjilbab, bahkan jilbab besar. Sampai di sini [mungkin] juga sepertinya tidak ada yang salah.
 
Tetapi pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat islam. Pertanyaan itu adalah “Adakah Engkau telah melupakan Kitabmu yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas ? adakah engkau lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat AL-Qur’an menggunakan kata “jangan”?
 
Salah satu contoh terbaik adalah catatan Kitabullah tentang Luqman AL-Hakim, Surah Luqman ayat 12 sampai 19. Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang DIa beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya (“walaqod ataina luqmanal hikmah….” . dst)
 
Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya “Wahai anakku, JANGANLAH  engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar”.
 
Sampai pada ayat 19, ada 4 kata “laa” (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada  anaknya, yaitu “laa tusyrik billah”, “fa laa tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”, dan “wa laa tamsyi fil ardli maraha”
Luqman tidak perlu mengganti kata “jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) “esakanlah Allah”. Pun demikian   dengan “Laa” yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan yang bersifat anjuran.
 
Adakah pribadi psikolog atau pakar patenting pencetus aneka teori ‘modern’  yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman?  Tidak ada. Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitabullah itu.
 
Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.
 
Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.
 
Itulah sebenar-benar paham liberal, yang ‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.
Jadi, yakini dan praktikkanlah teori parenting Barat itu agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal. Simpan saja AL-Qur’an di lemari paling dalam dan tunggulah suatu saat akan datang suatu pemandangan yang sama seperti kutipan kalimat di awal tulisan ini.  [yazid S. Mahallul Khotho’ wan Nisyaan]

 

source : here

Comments

  1. pencerahan baru buat sy, mbak kiki, tengkyu yaah

    ReplyDelete
  2. thengs..thengs... thengs...
    kemarin keceplosan bilang 'jangan' sama anak orang... udah deg-degan aja bawaannya.. =___+

    ReplyDelete
  3. thx for sharing, menarik sekali.. pengetahuan baru nih..

    ReplyDelete
  4. Baca diskusi lanjutannya di wall mb tarie dungs mb, biar ilmuny g setengah2 ;)

    ReplyDelete
  5. hu um
    kalo dipikir2
    bener juga
    didikan jadul ortu

    ReplyDelete
  6. Aduh tp sayang kl tdk baca diskusi itu, hehe

    ReplyDelete
  7. Huhu... Ak pke hape mba...
    Liat di wallku, ada notifikasi komenku di wall beliau

    ReplyDelete
  8. menurutku interaksi dengan anak gak harus selalu menghindari kata jangan
    tapi jangan sedikit2 bilang "jangan"
    jangan naik meja
    jangan lari-lari
    jangan berisik
    sebaiknya "jangan" yg seperti ini dihindari :)

    sedangkan untuk hal lain, justru tekankan kata "JANGAN"
    jangan meninggalkan sholat
    jangan lupa berdoa
    dlsb.

    yg seimbang sajalah, ortu yg tahu selahnya anak :)

    ReplyDelete
  9. nah ini bener banget

    tiap anak karakternya beda2

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

how to make hanbok

finally, jadi juga bikin hanbok, setelah sebelumnya bingung, kalo dah jadi mau buat apa??? karena sebentar lagi bakal ada momen spesial, jadi gapapa kali yah dipake buat momen itu, hahay. karena saya masi belajar menjahit, jadi pake kain yang murah, yaitu AERO yang biasanya dipake buat furing. kain ini tipis dan panas sebenernya warnanya tosca dan pink, tadinya mau ungu, tapi karena udah unya dress warna ungu dan pink maka saya memilih toska hanbok terdiri dari two pieces, bagian atas yang disebut jeogori, dan bawah yang disebut chima. jeogorinya pake warna pink. chimanya pake warna tosca, sedangkan buat bagian chima yang ketutup, pake warna putih yang aku ambil dari jilbab lamaku, hueheh soalnya kalo bagian atas chima yang ketutup tetep pake aero, nantinya bakal panas dipake, dan ga nyaman chima (bagian roknya) pake kain aero 2 meter, lebar 115. aku potong lebarnya 7 cm, sisanya full buat rok bagian atas chima, pake jilbab putih lamaku, lengan pake aero pink jeogori juga pake pink bag